Jumat, 15 April 2016

MATERI PSIKOLOGI PERKAWINAN



PSIKOLOGI PERKAWINAN
Materi Psikologi Perkawinan :
1. Definisi perkawinan
2. Definisi keluarga
3. Motif untuk menempuh perkawinan
4. Tahap-tahap perkawinan
5. Periode perkawinan
6. Pola-pola perkawinan
7. Tipe perkawinan
8. Faktor prediktif kepuasan perkawinan
9. Keuntungan perkawinan
10. Formula kesuksesan perkawinan

1. Definisi Perkawinan
         Banyak ragam definisi perkawinan, sebaiknya diambil definisi yang sesuai dengan UU Perkawinan yang berlaku. Namun bisa juga ditambahkan untuk menambah wawasan calon pasutri, definisi perkawinan lain yang ada, misalnya saya kutipkan dari tiga penulis yang berbeda :
- Perkawinan adalah suatu hubungan antara seorang laki-laki dan perempuan yang diakui secara sosial, menyediakan hubungan seksual dan pengasuhan anak yang sah, dan didalamnya terjadi pembagian hubungan kerja yang jelas bagi masing-masing pihak baik suami maupun istri. (Duvall dan Miller , 1985)
- Perkawinan adalah antara dua mitra yang memiliki obligasi berdasarkan minat
pribadi dan kegairahan. (Seccombe and Warner, 2004)
- Perkawinan adalah komitmen emosional dan hukum dari dua orang untuk membagi kedekatan emosional dan fisik, berbagi bermacam tugas dan sumber-sumber ekonomi. (Olson and deFrain, 2006)

2. Definisi Keluarga
  Keluarga adalah satu unit orang-orang, yang selalu berhubungan, biasanya hidup bersama dalam bagian hidup mereka, bekerja bersama untuk memuaskan kebutuhan mereka dan saling berhubungan untuk memuaskan keinginannya. (Duvall dan Miller, 1985).
3. Motif untuk Menempuh Perkawinan
          Pada awalnya, masalah perkawinan merupakan masalah bersama, keputusan antar keluarga namun kemudian terjadi pergeseran dimana perkawinan merupakan bagian dari HAM, keputusan individual atau perseorangan.
         Menurut David Knox (1975) ada 3 (tiga) alasan positif mengapa seseorang melakukan pernikahan yaitu emotional security, companionship, desire to be a parent. Selanjutnya ia mengatakan bahwa alasan salah untuk menikah adalah physical attractiveness, economic security, pressure from parents, peers, partners or pregnancy, escape, rebellion or rescue.
Pakar lain, Turner dan Helms (1983) menyebutkan ada dua faktor motif seseorang menikah yaitu :
a. Faktor Pendorong
         Hal-hal yang menjadi faktor pendorong untuk melakukan perkawinan adalah cinta,
        konformitas, legitimasi seks dan anak.
b. Fator Penarik
     Hal-hal yang menjadi faktor penarik untuk melakukan perkawinan adalah persahabatan, berbagi rasa dan komunikasi.
Dengan perkataan lain dapat juga dikatakan bahwa melalui perkawinan akan dapat dipenuhi beberapa kebutuhan manusia yaitu :
o Kebutuhan fisiologis dan material
o Kebutuhan psikologis
o Kebutuhan sosial
o Kebutuhan religius
4.Tahap-Tahap Perkawinan
Duvall dan Miller (1985) menyatakan adanya tujuh tahap perkawinan yang dikaitkannya dengan usia anak, sebagai berikut :
1. Pasangan baru
2. Keluarga memiliki anak
3. Keluarga dengan anak usia pra sekolah
4. Keluarga dengan anak usia sekolah
5. Keluarga dengan anak usia remaja
6. Keluarga dengan anak usia dewasa muda
7. Keluarga dewasa madya
8. Keluarga lanjut usia
Namun jika dikaitkan dengan peran sebagai orangtua, maka kehidupan perkawinan dapat dibagi dalam empat tahap yaitu :
1. Perkawinan baru, yang relatif sangat singkat dan segera berakhir dengan lahirnya anak
       pertama.
2. Perkawinan orangtua, berakhir ketika anak tertua memasuki usia remaja
3. Perkawinan tengah baya, dimulai ketika anak-anak meninggalkan rumah
4. Perkawinan lanjut usia, diawali pada awal masa pensiun dan berakhir saat salah satu
        pasangan meninggal dunia.
5. Periode Perkawinan

Strong dan De Vault (1989) mengemukakan periode perkawinan sebagai berikut:
a. Periode Tahun Awal,
        Dimulai saat seseorang baru menikah dan belum memiliki anak. Tahap ini merupakan tahun yang sangat kritis, karena seseorang mengalami transisi dalam kehidupannya. Tahun pertama perkawinan ini akan menentukan perkembangan perkawinan selanjutnya, apakah akan menjadi lebih baik atau malah memburuk.
        Masa ini berlangsung 10 tahun pertama perkawinan, yang meliputi fase perkenalan awal diikuti oleh fase menetap. Selama fase perkenalan, satu sama lain saling mengenal kebiasaan sehari-hari. Mereka menetapkan peraturan kehidupan sehari-hari,menyelesaikan sekolah, memulai karir atau merencanakan kehadiran anak pertama.
        Pada fase menetap, pasangan masih mengejar karir, memutuskan memiliki anak dan mengatur peran masing-masing. Mereka saling menyesuaikan harapan sesuai dengan peran yang atas dasar jender, hukum, dan pengalaman pribadi yang dipelajarinya. Satu sama lain saling memberikan pendapatnya tentang pembagian peran yang akan dijalankan sebagai pasutri.
         Pasutri yang memiliki latar belakang yang sama akan lebih mudah menyesuaikan diri satu sama lain, karena mempunyai harapan yang sama terhadap pasangannya. Sedangkan perbedaan latar belakang keluarga (seperti agama, suku bangsa, sosial dan keluarga yang retak) akan mengganggu proses penyesuaian perkawinan.
b. Periode Perkawinan Muda.
           Diawali dengan mulai adanya anak dalam kehidupan pasutri. Istri berhenti bekerja dan mengasuh anak, mulai menyesuaikan diri dengan irama kehidupan rutin dalam perkawinan. Sedangkan bagi perempuan berkarir yang tetap bekerja, harus mampu membagi waktunya dengan baik dalam mengurus rumah tangga, anak serta pekerjaannya. Hal ini tidak mudah, karena menuntut penyesuaian psikologis yang cukup besar. Untuk itu ada yang menyebutkan pada periode ini kepuasan perkawinan pada perempuan mulai berkurang.
    c. Periode Tahun Pertengahan
        Periode ini antara tahun ke 11 sampai dengan ke 30 tahun perkawinan. Jika pasangan memiliki anak, maka fase ini diisi dengan fokus pada pengembangan anak dan pengasuhan keluarga, serta menetapkan tujuan-tujuan baru untuk masa depan. Jika pasangan tidak memiliki anak, maka fase ini didedikasikan untuk karir, aktivitas kemasyarakatan atau tugas-tugas sosial. Titik beratnya adalah kebahagiaan dan kesejahteraan pasangan hidupnya.
         Pada periode ini, anak sudah berkembang menjadi remaja yang memiliki nilai-nilai dan ide pergaulan yang berbeda. Untuk itu seringkali terjadi konflik antara anak dengan orangtua. Namun pada periode ini pasutri sudah memiliki kondisi keuangan yang baik, karena istri sudah mulai bekerja kembali dan pengasuhan anak banyak berkurang.
         Hal lain yang terjadi, pasutri sudah mulai memasuki tanda-tanda ketuaan, sudah mulai banyak orang seumurnya yang meninggal. Reaksi yang terjadi, biasanya ada yang menarik diri dari pergaulan namun ada juga yang malah aktif membina hubungan baik dengan orang lain seperti kenalan, saudara dan anak-anak. Periode ini juga merupakan masa persiapan pasutri kehadiran menantu, saudara-saudara yang baru, dan mempersiapkan diri menjadi kakek nenek, disamping harus menerima kehadiran orangtua sendiri yang sudah mulai tergantung pada mereka.
d. Periode Tahun Matang
        Periode ini diawali dalam tahun ke 31 saat–saat menjadi tua bersama, merencanakan pensiun, menjadi kakek nenek dan hidup sendiri tanpa pasangan serta persiapan kematian. Disebut juga periode perkawinan tua.

6. Pola-Pola Perkawinan

          Hal yang masih sangat mendominan di dalam persepsi banyak orang bahwa di dalam lembaga perkawinan, laki-laki adalah pencari nafkah dan istri adalah seseorang yang melahirkan dan mengasuh anak-anak, melayani kebutuhan suami sebaik-baiknya, dan mengatur rumah tangga. Namun seiring dengan perkembangan jaman dimana perempuan dapat mengenyam pendidikan dan bekerja di luar rumah, terjadi pula perubahan nilai dan pola perkawinan. Saat ini menjadi hal yang lumrah jika istri lebih berpenghasilan lebih dari si suami, istri lebih memiliki pendidikan yang tinggi dari suami atau istri memiliki posisi karir yang melampaui suaminya.
          Berkaitan dengan hal diatas, Ihromi (1999) mengutip Scanzoni dan Scanzoni yang menyebutkan adanya empat pola perkawinan yaitu :
a. Owner Property
             Dalam pola ini suami sebagai pencari nafkah, dan istri sebagai ibu rumah tangga yang harus tunduk kepada keputusan suami. Status sosial istri bergantung pada status sosial suami. Istri bukan dianggap sebagai pribadi tetapi sebagai barang milik si suami yang harus selalu siap melayani suami walaupun ia tidak menginginkannya.
    b. Head Complement
                 Dalam pola ini walau suami tetap sebagai pencari nafkah, dan si istri mengurus rumah tangga, namun kehidupan perkawinan diatur secara bersama. Istri memiliki hak suara, sehingga hubungan yang terjadi adalah saling melengkapi, berbagi masalah, dan melakukan kegiatan bersama.
    c. Senior Junior Partner
            Suami dan istri sama-sama bekerja, sehingga si istri tidak sepenuhnya bergantung pada suami meskipun dalam pola ini penghasilan dan karir si suami tetap diatas istrinya.
    d. Equal Partner
         Suami dan istri dalam posisi duduk sama rendah, berdiri sama tinggi. Tidak ada pihak yang lebih tinggi atau lebih rendah. Setiap individu memiliki hak dan kewajiban yang sama untuk mengembangkan diri dan melakukan tugas rumah tangga. Keputusan diambil secara bersama dan selalu mempertimbangkan kepuasan masing-masing pihak.

7. Tipe Perkawinan
                  Kepuasan perkawinan merujuk pada kebahagiaan perkawinan, yaitu seberapa jauh pasangan merasakan perkawinannnya berjalan dengan stabil dan memuaskan.
Hasil riset Cuber dan Haroff (dalam Bird dan Melville,1994) terhadap 211 pasangan yang telah menginjak usia perkawinan 10 tahun dan tidak bercerai, menyatakan adanya 5 tipe perkawinan yaitu :
a. Conflict Habituated, perkawinan tipe ini bercirikan mereka yang selalu bertengkar
            namun tidak bermaksud untuk pisah. Mereka hampir selalu dalam keadaan tegang
            dan tidak cocok satu sama lain namun ingin tetap bersama.
b. Devitalized, perkawinan yang meredup. Kebersamaan perkawinan hanya rutinitas
            semata, karena tanggung jawab dan tugas.
c. Passive Congenials, perkawinan yang berlangsung aman dan tertib tanpa atau jarang
           diisi dengan pertengkaran. Pasangan berbagi minat bersama, terlibat dalam kegiatan
            sosial bersama, mengasuh anak, mengembangkan karir namun tidak mementingkan
            hubungan romantik.
d. Vitals, perkawinan yang diisi dengan kegiatan dan kebersamaan secara intens.
            pasangan terikat dalam semua persoalan kehidupan.
e. Totals, sama halnya dengan Vitals namun dalam derajat yang lebih dimana sebanyak
            mungkin semua kegiatan dan persoalan kehidupan dinikmati bersama.

8. Faktor Prediktif Kepuasan Perkawinan
               Kepuasaaan dalam perkawinan merupakan kesan subjektif individu terhadap komponen perkawinannya secara keseluruhan yang meliputi cinta, kebersamaan, anak, pengertian pasangan, dan standar hidup (Blood dan Wolfe, dalam Santrock, 1985). Lebih jauh Snyder (dalam Rathus dan Nevid, 1983) mengelaborasi sejumlah faktor yang berperan secara konsisten dalam kepuasan perkawinan yakni, komunikasi efektif, komunikasi problem solving, kesepahaman pengelolaan keuangan dan kepuasaan seksual.
         Hal yang menarik tentang kepuasan perkawinan ini disampaikan oleh Zastrow dan Kirst-Ashaman (1987), yang mengaitkannya dengan faktor-faktor sebelum berlangsungnya perkawinan dan selama berlangsungnya perkawinan. Dibawah ini disampaikan dua faktor prediktif kebahagiaan perkawinan yang berkait erat dengan masa sebelum dan selama perkawinan, yaitu :
1. Faktor- faktor sebelum perkawinan :
            Ø Perkawinan orang tua yang berbahagia
Ø Kebahagiaan di masa kanak-kanak
Ø Disiplin lembut dan tegas dari ortu
Ø Hubungan orang tua yang harmonis
Ø Bergaul baik dengan lawan jenis
Ø Telah mengenal lebih dari satu tahun sebelum perkawinan
Ø Ada restu dari orang tua
Ø Usia sepantar
Ø Puas dengan kasih sayang pasangan
Ø Cinta
Ø Kesamaan minat
Ø Pandangan yang optimistik tentang kehidupan
Ø Stabilitas emosional
Ø Sikap yang simpatik
Ø Kemiripan latar belakang budaya
Ø Kesesuaian keyakinan agama
Ø Kondisi pekerjaan dan karir memuaskan
Ø Hubungan cinta karena persahabatan bukan nafsu
Ø Kesadaran akan kebutuhan pasangan
Ø Keterampilan interspersonal dan sosial
Ø Identitas diri positif
Ø Memegang nilai-nilai umum
Ø Kemampuan mencari jalan keluar dari masalah
Ø Kemampuan pemahaman dan penerimaan diri baik
        2. Faktor-faktor selama perkawinan :
            Ø Kemampuan komunikasi yang baik
Ø Hubungan yang setara
Ø Hubungan yang baik dengan mertua dan ipar
Ø Minat dibidang yang sama
Ø Menginginkan hadirnya anak
Ø Cinta yang bertanggung jawab, saling hormat dan persahabatan
Ø Menikmati waktu luang bersama
Ø Hubungan yang penuh afeksi dan kebersamaan
Ø Kemampuan untuk menerima sekaligus memberi
        Sedangkan faktor prediktif terhadap ketidakpuasan atau kebahagiaan perkawinan yang berkait pada masa sebelum dan selama perkawinan berlangsung adalah :
1. Faktor-faktor sebelum perkawinan
            Ø Orangtua bercerai
Ø Kematian orangtua
Ø Ketidak cocokan ciri kepribadian utama pasangan
Ø Kenal kurang satu tahun
Ø Alasan perkawinan karena kesepian
Ø Alasan perkawinan karena agar bisa meninggalkan keluarga
Ø Perkawinan dibawah usia 20 tahun
Ø Adanya predisposisi untuk tidak bahagia
Ø Mengalami problem problem pribadi yang intensif
       2. Faktor-faktor selama perkawinan
Ø Suami lebih dominan
Ø Istri lebih dominan
Ø Kecemburuan
Ø Merasa superior terhadap pasangan
Ø Merasa lebih pintar dari pasangan
Ø Tinggal bersama orangtua atau ipar
                  Berdasarkan faktor-faktor diatas David dan Mace (1983), menegaskan bahwa suatu perkawinan baru dianggap berhasil jika mampu mengalami tiga tahapan yaitu :
• Mutual Enjoyment, yang dialami pada saat pasanagan menjalani bulan madu bersama.
• Mutual Adjustment,yang dialami dalam waktu relatif lama dimana masing-masing
          saling mengenal satu sama lain dengan lebih baik.
• Mutual Fulfillment, yang terjadi setelah pasangan melampaui dua tahap sebelumnya
          dengan berhasil. Dalam tahap ini suami dan istri telah menjadi satu kesatuan yang  
          Saling mengisi dan melengkapi. Oleh karenanya konflik-konflik besar akan jarang
          ditemukan.
           Apakah kepuasan perkawinan berjalan seiring dengan bertambah lamanya perkawinan? Berbagai pendapat diberikan tentang hal ini. Clark dan Walin (1965) mengatakan orang-orang yang dari semula bahagia tetap bahagia, dan yang dari semula tidak bahagia tetap tidak bahagia. Sedangkan Guilford (1986) berpendapat bahwa kepuasan perkawinan meningkat secara linear berjalan dengan lamanya waktu perkawinan.
          Hal yang bertentangan dengan apa yang dikatakan Blood dan Wolfe (1960) bahwa ada penurunan kepuasan perkawinan yang sifatnya gradual, sejalan dengan waktu perkawinan. Rollins dan Feldman (1970) menemukan bahwa pola kepuasan sepanjang kehidupan perkawinan sendiri berbentuk curvelinear, dengan kepuasan menurun pada kelahiran anak pertama, mencapai titik terendah ketika anak-anak mulai remaja dan meningkat kembali ketika anak meninggalkan rumah.
          Bagaimana arti kepuasan perkawinan bagi laki-laki dan perempuan? Bagi suami, kepuasan perkawinan baru akan terjadi jika terpenuhinya perasaan untuk dihargai, kesetiaan, dan terpenuhinya rencana terhadap masa depan. Sedangkan istri, melihat kepuasan perkawinan dari sisi terpenuhinya rasa aman secara emosional, komunikasi dan terbinanya intimasi.. Demikian pula usia dan jender telah terbukti mempengaruhi persepsi kebahagiaan perkawinan. Laki-laki dan pasutri yang lebih muda memiliki persepsi kepuasaan perkawinan yang lebih tinggi dibandingkan dengan wanita dan pasutri yang lebih tua (Haring-Hildore, Stock, Okun dan Witter, 1985 dikutip dari Indrasari, 1998).
          Hasil penelitian Bernard (1972) menunjukkan bahwa laki-laki yang menikah, jauh lebih baik secara fisik, social, dan psikologis dibandingkan perempuan yang menikah. Senada dengan ini, Mugford dan Laly (1981) serta Rubenstein (1982) dalam penelitiannya menemukan bahwa perempuan lebih banyak melaporkan perasaan frustrasi, ketidakpuasaan, adanya masalah perkawinan, dan keinginan untuk bercerai dari pada suami. Para istri lebih banyak mengalami kecemasan dan dalam keadaan nervous breakdown (perasaan tidak berdaya, cemas , kuatir dan fisik merasa sakit), menyalahkan diri sendiri atas ketidak sesuaian antara harapan dengan kenyataan dalam perkawinannya,. Perkawinan yang baik akan memberikan manfaat bagi tercapainya kesehatan fisik dan mental bagi perempuan, sedangkan laki-laki tetap akan merasaakan manfaat dari suatu perkawinan tanpa mempertimbangkan kualitas perkawinannya.
          Mengutip berbagai pandangan pakar perkawinan, ada perbedaan dalam faktor-faktor yang mempengaruhi kepuasan perkawinan, Indriasari (1998). Bagi laki-laki, faktor kepuasan seksual dan aktivitas yang menyenangkan yang dilakukan bersama pasangan, memiliki pasangan yang atraktif, mendapatkan dukungan keluarga, dikagumi oleh irti merupakan fakor-faktor penting dalam kepuasan perkawinan. Sementara pada perempuan, aspek kualitas dan kuantitas komunikasi serta afeksi dengan pasangan merupakan hal yang penting. Perempuan merasa puas jika suaminya menunjukkan afeksi, dapat bercakap-cakap dengan suami, suami menunjukkan kejujuran, keterbukaan, dan komitmen terhadap keluarga dan memperoleh support secara finansial.
          Bila dilihat dari tahap perkembangan keluarga, kepuasan perkawinan pada laki-laki cenderung lebih konstan dibandingkan perempuan yang mengalami beragam kepuasan perkawinan sejalan dengan tahap perkembangan keluarga. Titik terendah kepuasan perkawinan perempuan terjadi pada saat mereka memiliki anak usia pra sekolah, dan tertinggi setelah anak meninggalkan rumah.

9.Keuntungan Perkawinan
                 Linda Waite mengutip beberapa kajian tentang efek positif perkawinan yaitu : memiliki gaya hidup yang sehat,lebih panjang umur, memiliki hubungan sesksual yang memuaskan, memiliki lebih kekayaan, dan secara umum anak-anak dapat tumbuh kembang lebih baik dengan adanya orangtua di rumah.
    10.Formula Kesuksesan Perkawinan
- Masing-masing harus mandiri dan matang
- Harus mencintai pasangan dan diri mereka sendiri
- Menikmati kesendirian sama baiknya dengan kebersamaan
- Mapan dalam pekerjaan
- Mengenal baik pasangan masing-masing
- Mampu berekspresi secara asertif
- Keduanya adalah teman sekaligus lovers

         Akibat Yang Terjadi Jika Suatu Pernikahan Tidak Disiapkan Dengan Baik
Akibat yang terjadi jika suatu pernikahan tidak disiapkan dengan baik maka :
1. Rentan terhadap konflik
             Sebuah pernikahan yang tidak memiliki pondasi dan pilar-pilar penunjang yang kuat akan mengakibatkan perbedaan antar mereka justru menjadi sumber konflik dalam pernikahannya. Misalnya: Perbedaan temperamen dan kepribadian antar suami isteri, misalnya : suami yang bertemperamen intim dengan isteri yang bertemperamen cermat, perbedaan dalam cara mereka mengambil keputusan (suami impulsif, sedangkan isteri penuh dengan pertimbangan) akan menimbulkan konflik dan biasanya masalah-masalah kecil seperti ini dapat menjadi besar dan tidak terselesaikan dengan baik.
2. Ketidakpuasan dalam pernikahan
            Bila konflik yang ada tidak terselesaikan maka masing-masing pihak merasa bahwa diri mereka dirugikan dan timbullah rasa tidak puas terhadap pasangan masing-masing. Atau karena hambatan komunikasi dan tidak adanya saling pengertian antar suami dan isteri, maka mereka merasa pasangannya tidak dapat memenuhi kebutuhannya dan merasa kecewa dengan pernikahan yang ada.
3. Perselingkuhan
         Jika suami atau isteri merasakan ketidakpuasan atau kecewa dengan pernikahannya maka perselingkuhan pun tak dapat dihindarkan lagi. Masing-masing mencoba mencari orang lain yang menurut mereka dapat lebih memenuhi kebutuhannya.

4. Perceraian
Hal ini seringkali ditempuh oleh banyak pasangan yang merasa bahwa pernikahannya tidaklah sesuai dengan harapannya. Tali komitmen pun diputuskan dan kesakralan pernikahan tidak lagi dipedulikan demi terlepas dari pernikahan yang penuh masalah tersebut.

Hambatan yang sering terjadi
1.      Pemahaman yang tidak tepat tentang konsep pernikahan atau pernikahan tidak dibangun di atas pondasi yang kuat. Banyak orang yang menikah dengan pemahaman yang tidak tepat tentang konsep pernikahan. Mereka berpikir bahwa dengan menikah akan ada orang yang peduli dan memperhatikan kebutuhannya, yang selalu ada saat ia membutuhkan. Pandangan yang lain berpikir bahwa dengan menikah mereka dapat memenuhi kebutuhan seks tanpa berbuat dosa. Mereka kurang mempertimbangkan mengenai masalah yang mungkin muncul dalam pernikahan sehingga ketika masalah tersebut muncul, timbullah kekecewaan baik kepada pasangan maupun pernikahan itu sendiri.
2.      Kurangnya komunikasi dan saling pengertian. Hal ini dikarenakan pasangan yang tidak memahami perbedaan individual yang ada diantara mereka. Mereka mungkin menyadari bahwa mereka berbeda namun tidak tahu bagaimana cara menjembatani perbedaan yang ada dengan bijaksana sehingga konflikpun tak bisa dihindarkan lagi. Seringkali hal ini dianggap sebagai hal yang biasa oleh banyak pasangan dan dengan berharap bahwa pasangannya dapat berubah ketika mereka menikah, hubunganpun dilanjutkan ke jenjang pernikahan. Namun justru kebanyakan orang mengeluhkan bahwa komunikasi dan hubungan mereka semakin memburuk dan penyesalanpun muncul dalam diri masing-masing setelah mereka menikah.


Solution Tips
1.      Bangunlah pondasi yang kuat. Sama seperti membangun sebuah bangunan, untuk menghasilkan bangunan yang kuat dan kokoh tentunya harus dimulai dengan membangun pondasi yang kuat dan kokoh terlebih dahulu. Para arsitek tentunya akan merencanakan dan menghitung konstruksinya dengan baik serta mencoba mengantisipasi resiko terburuk yang akan dihadapi bangunan tersebut. Dengan demikian bangunan tersebut dapat tetap kokoh berdiri meskipun suatu waktu terjadi badai.
Banyak orang berpendapat bahwa pondasi dalam sebuah pernikahan adalah CINTA dan kebanyakan orang menikah karena mereka saling mencintai, merasa ada kecocokan dan saling membutuhkan. Namun yang menjadi pertanyaan adalah cinta seperti apakah yang akan menentukan keberhasilan sebuah pernikahan? Apakah cinta yang tulus atau karena hawa nafsu (eros)? Karena harta atau kedudukan?
Cinta yang tepat adalah yang berdasarkan prinsip "Love is Giving the Best" (cinta adalah memberi yang terbaik). Dengan memiliki pandangan demikian maka kecenderungan menuntut yang ada dalam diri kita dapat dengan lebih mudah dinetralisir. Kecenderungan alami kita yang selalu ingin bertanya "Apa yang dapat pasangan kita berikan kepada kita" berubah menjadi pemikiran "Apa yang dapat kita berikan untuk membahagiakan pasangan kita". Berikan waktu, perhatian terbaik dan kata-kata yang menguatkan maka cinta yang kita berikan akan tumbuh subur dan ini menjadi dasar atau pondasi pernikahan yang kokoh karena barangsiapa yang memberi akan mendapatkan yang terbaik.
2.      Pilar komunikasi dengan saling mengerti. Setelah memiliki pondasi yang kuat, tentunya kita harus membangun pilar-pilar penunjang yang kokoh untuk mempertahankan pernikahan tersebut yaitu KOMUNIKASI yang baik karena tanpa komunikasi yang baik, kerikil-kerikil masalah dapat melahirkan badai yang mampu mengguncangkan pernikahan yang ada.
Untuk membangun komunikasi yang baik, pasangan harus menyadari bahwa mereka merupakan dua pribadi yang unik dan berbeda. Perbedaan tersebut tidak hanya berkaitan dengan jenis kelamin, tetapi juga nilai-nilai, kebiasaan-kebiasaan, temperamen dan kepribadian. Pasangan tidak akan pernah nisa membangun sebuah kesamaan tanpa menyadari atau mengenali perbedaan yang ada. Setelah pasangan menyadari perbedaan tersebut barulah dapat ditentukan langkah penyesuaian yang tepat. Tentunya, kita tidak dapat menuntut pasangan untuk mengubah/menyesuaikan dirinya, namun mulailah dari diri kita.
3.      Satu atap dalam keuangan. Masalah ekonomi atau keuangan bukanlah hal yang mudah diselesaikan dalam sebuah pernikahan, hal ini sangat tergantung pada budaya dan nilai-nilai dalam keluarga masing-masing pihak. Namun dengan prinsip "di mana hartamu, di situ hatimu" maka satu atap dalam keuangan akan sangat menjanjikan sebuah perlindungan yang baik untuk sebuah pernikahan. Tentunya dengan adanya satu kesatuan dalam keuangan akan memperkecil keinginan untuk bercerai pada suami isteri karena mereka harus memikirkan dua kali lebih panjang untuk mampu memisahkan harta ‘gono-gininya' ketika mereka berkeinginan untuk bercerai.
Love is giving the best (cinta adalah memberi yang terbaik)
(Family DISCovery)
4.      Komunikasi.  Komunikasi adalah elemen yang paling penting dalam suatu hubungan, sementara pertengkaran adalah elemen yang paling merusak (John Gray, Phd.)

       Merawat dan Memperkaya Cinta Suami Isteri
                  Pernikahan yang sukses merupakan usaha dan hasil kerjasama dari dua orang yang berusaha
             merawat Cinta.
Cinta
           Beberapa ahli psikologi meyakini bahwa cinta merupakan emosi paling utama yang mendasari berbagai nuansa emosi lainnya. Ada berbagai definisi atau pengertian yang bisa dikemukakan apabila pada seseorang ditanyakan apa arti cinta. Ada pula berbagai bentuk dan manifestasi cinta. Konsep tradisional dari cinta dikemukakan oleh filosof Irving Singer dengan 4 macam cinta yaitu eros (cinta keindahan yang sifatnya fisik), philia (cinta pertemanan), nomos (submisif & kepatuhan) dan agape (cinta spiritual, tidak mementingkan diri sendiri).
Suami istri mencintai pasangannya tidak selalu dengan gaya, ekspresi, ataupun porsi yang sama. Erich Fromm dalam bukunya The Art of Loving menggambarkan bahwa cinta adalah sebuah seni yang harus dipelajari, dipraktekkan dan terus diasah. Berarti cinta tidak berkembang dengan sendirinya, perlu usaha untuk memelihara dan menjaganya. Cinta membuat pasangan merasa dekat, terikat dan saling memiliki, sehingga bisa membuka diri sampai taraf yang paling intim.
Robert Sternberg, seorang psikolog dari Yale University melakukan penelitian tentang cinta romantis dan mengemukakan teori segitiga cinta yang memungkinkan dipahami adanya dinamika serta model atau kualitas cinta yang berbeda-beda, bergantung dari kombinasi ada tidaknya, ataupun besar kecilnya komponen cinta yaitu Gairah (passion), Keintiman (intimacy) dan Komitmen (commitment). Kombinasi ini bisa berbeda pada waktu yang berbeda dalam hubungan cinta yang sama.

Gairah
           Komponen gairah merujuk pada romantisme dan daya tarik, merupakan getaran perasaan yang mendorong seseorang untuk bercinta, bersifat sensual dan seksual.
Komitmen: Merupakan sisi kognitif dari cinta. Terdiri dari dua bagian yaitu jangka pendek dan jangka panjang. Jangka pendek adalah keputusan untuk mencintai seseorang (mungkin tanpa disadari). Jangka panjang adalah keputusan untuk mempertahankan dan merawat cinta dengan orang tersebut. dalam perkawinan hingga akhir hidup. Komitmen untuk mempertahankan perkawinan, memungkinkan suami istri tetap setia dan bertahan berjalan bersama serta mampu mengatasi masa-masa ketika gairah cinta mulai menurun.
Keintiman
            Sisi emosional dari cinta adalah keintiman, kedekatan bukan saja secara fisik tetapi juga kedekatan hati. Kedekatan yang memungkinkan seseorang berani membuka diri, mempercayakan hal-hal pribadinya kepada orang yang dicintai. Ada perasaan percaya karena diterima apa adanya sehingga seseorang tidak merasa perlu merahasiakan sesuatu. Tanpa perawatan dan pemeliharaan yang sungguh-sungguh keintiman sulit dicapai, sebab dibutuhkan pengenalan, pemahaman, kepekaan, empati dari pasangannya untuk seseorang bisa membuka diri.
Beberapa tanda keintiman adalah :
- Senang dan ingin pasangannya juga merasa bahagia
- Merasa bahagia ketika ada bersama
- Senang berdekatan
- Mudah saling paham (hendaklah kamu sehati sepikir, dalam satu kasih, satu jiwa, satu
   tujuan.
- Merasa mendapat dan suka memberi dukungan emosional dari/ ke pasangan
- Menghargai kehadiran dan keberadaan pasangan.

Ada berbagai hal yang perlu diperhatikan dalam merawat cinta suami isteri:
Menikah dengan alasan yang sehat. Ada berbagai alasan menikah, merawat cinta suami isteri perlu diawali dengan alasan yang sehat untuk menikah yaitu, merupakan ekspresi dari cinta & persahabatan keinginan untuk membangun keluarga memenuhi kebutuhan fisik, sosial & ekonomi hidup berbagi dengan pasangan bekerja sama untuk memenuhi kebutuhan satu sama lain mengoptimalkan potensi meningkatkan pertumbuhan rohani.
Kesetaraan otoritas
          Suami istri adalah mitra, pasangan yang sepadan dalam menjalankan peran sebagai suami istri dan orang tua ataupun peran lain dalam lingkup kehidupan keluarga. Kalaupun masing-masing mempunyai kelebihan maka kelebihan tersebut dimanfaatkan untuk kepentingan berdua, saling mengisi dan mendukung keluarga.
Mengenal pasangan
          Hidup bersama di bawah satu atap bukan jaminan untuk bisa mengenal dan memahami pasangan secara baik. Mungkin kita merasa mengenal pasangan dengan baik, tetapi tidak jarang ada banyak hal yang kita tidak / kurang kenal dan tidak paham mengenai pasangan kita. Dibutuhkan kemauan, usaha, saling terbuka dan komunikasi yang efektif untuk suami istri mengenal dan memahami pasangannya.

Mengenal dan memahami suami sebagai laki-laki / istri sebagai perempuan
             Konflik dan ketegangan seringkali terjadi karena suami istri sering tidak saling memahami dan kurang mempertimbangkan fakta bahwa laki laki dan perempuan berbeda karakteristik dalam cara berpikir, bertindak, dan juga cara memandang lingkungannya.
Laki-laki Perempuan
Cara berpikir, bertindak, dan juga cara memandang lingkungannya:
> Mengandalkan logika
> Fokus pada prinsip utama
> Fokus pada satu hal
> Pekerjaan - bagian diri
> Cenderung stabil
Cara berpikir, bertindak, dan juga cara memandang lingkungannya:
- Mengandalkan perasaan
- Fokus pada detil
- Mengerjakan beberapa hal sekaligus
- Keluarga – bagian diri
- Mudah berubah-ubah
Hal-hal yang menjadi kebutuhan utama laki-laki dan perempuan juga berbeda:
> Seks
> Rekreasi
> Wanita yang menarik
> Dukungan keluarga
> Dikagumi – dihormati
Hal-hal yang menjadi kebutuhan utama laki-laki dan perempuan juga berbeda:
- Kasih Sayang
- Komunikasi & percakapan
- Kejujuran & keterbukaan
- Dukungan keuangan
- Komitmen terhadap keluarga
Mengatasi konflik
Konflik-konflik yang terjadi dalam hubungan suami istri sebenarnya merupakan bagian dari proses harmonisasi. Tidak ada pernikahan yang bebas konflik, yang penting adalah bukan ada atau tidak adanya konflik ataupun pertengkaran yang terjadi dalam hubungan suami istri. konflik. Ada 4 cara berkonflik yang harus dihindari karena membuat hubungan menjadi buruk yaitu, mengkritik dan merendahkan, menghina, membela diri dan membisu.
Komunikasi
Komunikasi adalah penyampaian atau pertukaran informasi. Komunikasi yang berhasil adalah bila informasi yang disampaikan diterima dan memberi pengertian sebagaimana yang dimaksudkan.
       Yang Menjaga Pernikahan Tetap Kuat
          Menurut Dr. Steve Stephens, Psikolog dan pembicara seminar. Dalam 20 tahun memberikan konseling pernikahan. Alasan-alasan utama yang diberikan para pasangan suami istri, tentang mengapa pernikahan mereka langgeng:
1. Pasangan saya adalah sahabat saya yang terbaik.
2. Kami menikmati waktu bersama.
3. Saya suka kepada pasangan saya sebagai individu.
4. Pernikahan adalah komitmen seumur hidup.
5. Pasangan saya tertarik kepada saya sebagai individu.
6. Pernikahan itu sakral.
7. Kami punya impian serta sasaran yang sama.
8. Anak-anak butuh rumah tangga yang stabil.
9. Pasangan saya positif dan membangun saya.Saya ingin hubungan ini berhasil.
10. Kami saling menghargai dan menghormati.
11. Pasangan saya mendorong pertumbuhan pribadi saya.
12. Kami tertawa bersama-sama.
13. Saya Percaya kepada Pasangan saya.
14. Kehidupan seksual kami positif.
15. Kami telah membangun kehidupan bersama yang tenteram serta nyaman.
16. Pasangan saya menerima saya apa adanya.
17. Kami punya keyakinan serta minat serupa.
18. Kami berkomunikasi dengan baik.
19. Saya homat kepada pasangan saya.


           Kesimpulan
Perkawinan sekalipun diawali dengan cinta yang menggebu bukanlah merupakan jaminan bahwa cinta tersebut tidak akan pudar, cinta seringkali mengalami pasang surut, terlebih lagi untuk jangka panjang dan melalui berbagai pergumulan. Pernikahan yang sukses merupakan usaha dan hasil kerjasama dari dua orang yang berusaha merawat cinta mereka berdua. Adapun kesuksesan Perkawinan (Shihab dlm buku Pengantin al-Qur’an):
Ø Sakinah: Ketenangan dan ketentraman setelah sebelumnya ada gejolak, Ketenangan bersifat dinamis, Dilahirkan akibat menyatunya pemahaman dan kesucian hati dan bergabungnnya kejelasan pandangan dengan tekad yang kuat.
Ø Mawaddah: Kelapangan dada dan kekosongan jiwa dari kehendak buruk, sehingga pintunya tertutup untuk dihinggapi keburukan lahir dan batin yang mungkin datang dari pasangannya.
Ø Rahmah: Kondisi psikologis yang muncul di dalam hati akibat menyaksikan ketidakberdayaan, sehingga mendorong yang bersangkutan untuk melakukan pemberdayaan.
Ø Amanah: Sesuatu yang diserahkan kepada pihak lain disertai dengan rasa aman dari pemberinya karena kepercayaannya bahwa apa yang diamanatkan itu akan dipelihara dengan baik, serta aman keberadaannya di tangan yang diberi amanat itu
Saran
Dalam menjalani kehidupan keluarga ada beragam persoalan dan berbagai alasan yang bisa menimbulkan gesekan ataupun benturan yang mudah memudarkan serta merusak cinta. Tanpa pemeliharaan yang telaten cinta suami istri mudah sirna, dan tidak lagi melatar belakangi kehidupan berdua. Jangan tunggu sampai meredup, sejak awal perkawinan, cinta perlu dirawat, dijaga agar tetap hangat, mesra, menarik dan terasa menyenangkan bagi keduanya. Keluarga yang diwarnai dengan hubungan suami istri yang penuh cinta kasih akan menciptakan suasana yang hangat dan akrab dan kasih sayang suami istri akan dirasakan serta ditularkan ke anak-anak dan seluruh anggota keluarga. Memelihara, merawat cinta perlu dilakukan sejak awal perkawinan dan menjadi prioritas agar cinta suami istri dapat terus bertumbuh serta senantiasa diperkaya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Entri yang Diunggulkan

ALUR PELAYANAN NIKAH

Ditjen Bimas Islam baru saja merelease alur pelayanan nikah sesuai dengan yang diatur dalam Peraturan Pemerintah No 48 Tahun 2014 tenta...