Rabu, 20 April 2016

PERAN BP4 DALAM PERSPEKTIF MASYARAKAT YANG SEDANG BERUBAH




Keluarga merupakan unsur terkecil dari masyarakat, bahkan sebagai jiwa dan tulang punggungnya. Kesejahteraan lahir dan batin yang dinikmati oleh suatu bangsa, atau sebaliknya, kebodohan dan keterbelakangannya, adalah cerminan dari keadaan keluarga-keluarga yang hidup dalam masyarakat bangsa tersebut. Pernyataan ini sesungguhnya merupakan hakikat dari kehidupan keluarga dan sekaligus kesimpulan dari hampir semua pakar dari berbagai disiplin ilmu. Dalam kaitan ini, Islam sangat konsen dan memberikan perhatian secara serius terhadap pembinaan keluarga dan bahkan dapat dikatakan hampir sepadan dengan pembinaan individu serta kehidupan umat manusia secara keseluruhan. Itulah sebabnya mengapa Islam mendorong umatnya untuk secara sungguh-sungguh memikirkan kehidupan keluarga, karena apabila keluarga diibaratkan sebagai satu bangunan, maka ia harus didirikan di atas pondasi yang kuat agar dapat bertahan dalam menghadapi goncangan kehidupan yang carut-marut seperti sekarang.
Pondasi yang kuat bagi tegaknya kehidupan kekeluargaan adalah ajaran agama. Oleh karena itu, jika ajaran agama dijadikan sebagai pegangan kehidupan kekeluargaan, dapat dipastikan kehidupan kekeluargaan akan mampu eksis dalam berbagai situasi dan kondisi. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa keluarga, sebagaimana digambarkan di atas, dapat menjadi pendukung dan pembangkit lahirnya bangsa dan masyarakat yang kuat. Atau dalan istilah lain, keluarga adalah tiang negara, karena dengan keluarga negara bisa menjadi bangkit atau bisa runtuh. Oleh karena itu, tujuan perkawinan adalah untuk membentuk keluarga bahagia kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Berkaitan dengan tujuan perkawinan ini, perceraian merupakan bentuk kegagalan pasangan suami-isteri dalam mencapai keluarga bahagia, dan kekal tersebut.
Penelitian model ini dapat didekati dari berbagai perspektif, salah satunya adalah penelitian antropologi. Salah satu dari empat program penelitian antropologi tradisional yang masih dianut adalah studi-studi perbandingan mengenai berbagai sistem kekerabatan dalam suatu area kultural. Artinya, melepaskan beberapa masalah yang terkandung dalam definisi lintas-kultural mengenai kekerabatan. Problema utama penelitian tentang kekerabatan adalah tantangan dari para relativis kultural bahwa tidak ada satupun bidang kekerabatan yang bersifat universal. Gagasan yang hampir sama mengenai perkawinan, keturunan, organisasi keluarga, dan moralitas kekerabatan dapat ditemukan di sebagian besar masyarakat.
Di abad 21, abad globalisasi dan kemajuan teknologi utamanya teknologi komunikasi ini, masyarakat dunia tertegun dan bertanya-tanya dengan munculnya berbagai krisis yang menimpa kehidupan. Pergeseran peran dan hubungan dalam keluarga, pembagian kekayaan yang tak adil, keruntuhan moral dan harga diri, konsumerisme, homeless dan pengangguran besar-besaran, kekerasan, kemiskinan, ambruknya isntitusi-instutusi kehidupan tradisional, serta sederet lagi himpunan krisis yang menimpa masyarakat. Salah satu cara menghadapi berbagai krisis adalah dengan berlindung dan kembali ke keluarga. Tetapi timbul problema baru, karena keluarga sekarang bukan lagi tempat perlindungan yang aman, nyaman, dan teduh. Keluarga juga telah terpecah, dan mengalami krisis. Krisis institusi keluarga, bahkan keluarga merupakan bagian yang parah terimbas krisis kehidupan di abad 21 ini.
Menjadi keinginan dan cita-cita seluruh lapisan dan kelompok masyarakat untuk selamat dari gelombang globalisasi, memperoleh keuntungan dari kemajuan teknologi, menyelematkan kembali keluarga yang telah terhentak gelombang. Mungkin saja semua pihak masyarakat, negara telah berbuatnya. Namun semua orang merasakan hasil upaya tersebut belum terasa hasilnya. Keluarga-keluarga yang seharusnya melindungi dirinya dari hentakan tersebut, nampaknya tidak berdaya, bahkan sepertinya justru hanyut dalam gelombang eforia kebebasan, hedonistis, materialistis, dan sejenisnya.
Para ahli memprediksi keluarga masa depan. Horton dan Chester L. Hunt, berdasarkan kenyataan, memprediksi setiap dua perkawinan, satunya akan bercerai, maka sebuah keluarga tidak akan lenyap. Namun ahli yang lainnya percaya bahwa keluarga batih akan ambruk dan akan digantikan dengan pasangan “bebas”, berganti-ganti tidak terikat anak, kawan dekat, dan tetangga sebagaimana ditemukan pada masa-masa lalu. Sebaliknya, beberapa ahli keluarga meramalkan bahwa dalam dekade yang akan datang, keluarga akan semakin terstruktur dan tradisional. Oleh karena itu, keluarga batih akan tetap bertahan karena belum pernah ada masyarakat kompleks yang dapat bertahan tanpa batih. Dengan demikian, tidak ada keraguan mengenai apakah sebuah sebuah keluarga akan bertahan. Namun arah perubahan keluarga yang tidak dapat diramal secara pasti ke mana arahnya.
Meskipun demikian, dapat diinventarisir beberapa perubahan dari dulu sampai sekarang, yang sekaligus menjadi tantangan keluarga pada masa akan datang. Perubahan tersebut mencakup:

  1. Perubahan struktur keluarga; 
  2. Perubahan fungsi keluarga; 
  3. Perubahan nilai perceraian; dan 
  4. Perubahan yang mempengaruhi tingkat perceraian dalam masyarakat.

Sejak lama (sekitar 1956) para pemimpin bangsa telah mengantipasi perubahan zaman yang menjadi tantangan, ancaman bagi keluarga, dengan membentuk lembaga-lembaga yang bergerak di bidang penasehatan keluarga. Lembaga-lembaga ini tersebar di Jawa Barat, Yogyakarta, Jakarta, bahkan juga di kota-kota luar Jawa. Kemudian, guna mencapai daya-guna dan daya-hasil, lembaga-lembaga penasehatan ini menyatu menjadi Badan Penasehatan Perkawinan dan Penyelesaian Perceraian (BP4), yang sejak tahun 2002 berubah nama menjadi Badan Penasehatan Pelestarian Perkawinan (BP4). BP4 ini sejak pembentukannya sampai sekarang merupakan satu-satunya lembaga yang bergerak di bidang penasehatan perkawinan di lingkungan Departemen Agama. Bahkan, barangkali BP4 merupakan sebuah lembaga yang bergerak di bidang pembinaan keluarga terbesar di Indonesia ini. Secara nasional, terdapat sebuah BP4 Pusat, hampir 33 BP4 provinsi, 400-an BP4 kabupaten/kota, ribuan BP4 kecamatan, dan sejak 2004 di beberapa desa/kelurahan dibentuk BP4 kelurahan/desa.
Pada masanya, peranan BP4 cukup besar dalam memelihara keutuhan keluarga. Menurut data di Departemen Agama, angka perceraian antara 1950-an s/d 1970-an, jumlah perceraian secara nasional mencapai separoh dari jumlah perkawinan yang terjadi di masyarakat. Namun sejak tahun 1970-an, angka perceraian tersebut terus menurun, dan dengan berlakunya UU No. 1 Tahun 1974 yang salah satu asasnya mempersulit perceraian, jumlah perceraian semakin menurun. Sejak tahun 1990- an, angka perceraian terus bertahan sekitar 6 -7% dari angka perkawinan di seluruh Indonesia.
UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menganut asas mempersulit perceraian. Asas ini dijabarkan dalam Pasal 39 UU yang mengatur tata cara perceraian tersebut, dan dijabarkan dalam dua ketetapan. Pertama, perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan. Kedua, untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan, bahwa antara suami isteri itu tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami-isteri. Ketiga, diatur dalam peraturan perundangan sendiri. Ketentuan ini lebih lanjut dijabarkan Pasal 14 s/d 36 PP No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Dari segi Tupoksi, penasehatan pasangan-pasangan yang bermasalah (akan bercerai) ini adalah (utamanya yang akan berperkara di Pengadilan Agama) menjadi tugas BP4 kabupaten/kota. Di samping BP4 kecamatan yang bertugas memberi nasehat kepada pasangan-pasangan yang akan menikah. Namun kini, di samping lembaga penasehatan BP4 tumbuh beragam lembaga-lembaga konsultasi keluarga, seperti lembaga psikologi keluarga, lembaga-lembaga konsultasi keluarga, lembaga perjuangan kesetaraan jender, perlindungan perempuan dari kekerasan dalam rumah tangga, advokasi hokum, dan lain-lain, yang bertugas mendampingi pasangan-pasangan bermasalah.
Dalam konteks Bangka Belitung, secara garis besar dalam pelbagai wilayah sebenarnya peran BP4 belum teraplikasi secara maksimal. Maksimalisasi peran BP4 baru terlaksana pada sebagian kecil daerah, seperti di daerah Pangkal Pinang kota, secara spesifik berada di KUA (Kantor Urusan Agama) Bukit Intan dan di Tanjung Pandan, Belitung. Hal ini disebabkan karena akses masyarakat di sebagian besar kedua tempat tersebut sudah sangat mudah sehinngga hubungan dengan pihak BP4 menjadi berjalan dengan baik.
Maksimalisasi ini dalam arti, seperti memberi penyuluhan selama sepuluh hari sebelum menikah dari pihak BP4 terhadap kedua calon mempelai yang akan menikah. Sebab secara teoretis, BP4 mempunyai kewajiban memberikan penyuluhan kepada setiap pasangan yang akan menikah setidaknya sepuluh hari sebelum proses akad nikah dilakukan pada hari pernikahannya. Setelah itu kedua pasangan tersebut layak mendapat Piagam Penasehatan Pra Perkawinan yang dikeluarkan secara resmi oleh BP4.
Begitu pula pelbagai bentuk penyuluhan setelah proses perkawinan yang dilakukan oleh BP4 terhadap masyarakat luas di Bangka Belitung masih belum maksimal perannya. Sebagian besar BP4 yang berada di berbagai daerah belum menunaikan tugas mereka secara maksimal selain hanya dalam dua tempat tersebut, yaitu Bukit Intan, Pangkal Pinang, Bangka dan Tanjung Pandan, Belitung. Pertanyaannya adalah bagaimana kedudukan BP4 sebagai lembaga pembina keluarga di tengah globalisasi, kemajuan teknologi, perubahan nilai serta pergeseran pola hubungan keluarga Indonesia, dan akhirnya bagaimana cara meningkatkan peran BP4 di masa akan datang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Entri yang Diunggulkan

ALUR PELAYANAN NIKAH

Ditjen Bimas Islam baru saja merelease alur pelayanan nikah sesuai dengan yang diatur dalam Peraturan Pemerintah No 48 Tahun 2014 tenta...