Keluarga merupakan unsur terkecil dari masyarakat, bahkan
sebagai jiwa dan tulang punggungnya. Kesejahteraan lahir dan batin yang
dinikmati oleh suatu bangsa, atau sebaliknya, kebodohan dan keterbelakangannya,
adalah cerminan dari keadaan keluarga-keluarga yang hidup dalam masyarakat
bangsa tersebut. Pernyataan ini sesungguhnya merupakan hakikat dari kehidupan
keluarga dan sekaligus kesimpulan dari hampir semua pakar dari berbagai
disiplin ilmu. Dalam kaitan ini, Islam sangat konsen dan memberikan perhatian
secara serius terhadap pembinaan keluarga dan bahkan dapat dikatakan hampir
sepadan dengan pembinaan individu serta kehidupan umat manusia secara
keseluruhan. Itulah sebabnya mengapa Islam mendorong
umatnya untuk secara sungguh-sungguh memikirkan kehidupan keluarga, karena
apabila keluarga diibaratkan sebagai satu bangunan, maka ia harus didirikan di
atas pondasi yang kuat agar dapat bertahan dalam menghadapi goncangan kehidupan
yang carut-marut seperti sekarang.
Pondasi yang kuat bagi tegaknya
kehidupan kekeluargaan adalah ajaran agama. Oleh karena itu, jika ajaran agama
dijadikan sebagai pegangan kehidupan kekeluargaan, dapat dipastikan kehidupan
kekeluargaan akan mampu eksis dalam berbagai situasi dan kondisi. Dengan
demikian, dapat dikatakan bahwa keluarga, sebagaimana digambarkan di atas,
dapat menjadi pendukung dan pembangkit lahirnya bangsa dan masyarakat yang
kuat. Atau dalan istilah lain, keluarga adalah tiang negara, karena dengan
keluarga negara bisa menjadi bangkit atau bisa runtuh. Oleh karena itu, tujuan perkawinan adalah untuk membentuk keluarga bahagia kekal berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa. Berkaitan dengan
tujuan perkawinan ini, perceraian merupakan bentuk kegagalan pasangan
suami-isteri dalam mencapai keluarga bahagia, dan kekal tersebut.
Penelitian model ini dapat didekati
dari berbagai perspektif, salah satunya adalah penelitian antropologi. Salah satu dari empat program penelitian antropologi tradisional yang masih
dianut adalah studi-studi perbandingan mengenai berbagai sistem kekerabatan
dalam suatu area kultural. Artinya, melepaskan beberapa masalah yang terkandung
dalam definisi lintas-kultural mengenai kekerabatan. Problema utama penelitian tentang kekerabatan adalah tantangan dari para
relativis kultural bahwa tidak ada satupun bidang kekerabatan yang bersifat
universal. Gagasan yang hampir sama mengenai perkawinan, keturunan, organisasi
keluarga, dan moralitas kekerabatan dapat ditemukan di sebagian besar
masyarakat.
Di abad 21, abad globalisasi dan kemajuan teknologi utamanya teknologi
komunikasi ini, masyarakat dunia tertegun dan bertanya-tanya dengan munculnya
berbagai krisis yang menimpa kehidupan. Pergeseran peran dan hubungan dalam
keluarga, pembagian kekayaan yang tak adil, keruntuhan moral dan harga diri,
konsumerisme, homeless dan pengangguran besar-besaran, kekerasan,
kemiskinan, ambruknya isntitusi-instutusi kehidupan tradisional, serta sederet
lagi himpunan krisis yang menimpa masyarakat. Salah satu cara menghadapi
berbagai krisis adalah dengan berlindung dan kembali ke keluarga. Tetapi timbul
problema baru, karena keluarga sekarang bukan lagi tempat perlindungan yang
aman, nyaman, dan teduh. Keluarga juga telah terpecah, dan mengalami krisis.
Krisis institusi keluarga, bahkan keluarga merupakan bagian yang parah terimbas
krisis kehidupan di abad 21 ini.
Menjadi keinginan dan cita-cita seluruh lapisan dan kelompok masyarakat
untuk selamat dari gelombang globalisasi, memperoleh keuntungan dari kemajuan teknologi,
menyelematkan kembali keluarga yang telah terhentak gelombang. Mungkin saja
semua pihak masyarakat, negara telah berbuatnya. Namun semua orang merasakan
hasil upaya tersebut belum terasa hasilnya. Keluarga-keluarga yang seharusnya
melindungi dirinya dari hentakan tersebut, nampaknya tidak berdaya, bahkan
sepertinya justru hanyut dalam gelombang eforia kebebasan, hedonistis,
materialistis, dan sejenisnya.
Para ahli memprediksi keluarga masa depan. Horton dan Chester L. Hunt,
berdasarkan kenyataan, memprediksi setiap dua perkawinan, satunya akan
bercerai, maka sebuah keluarga tidak akan lenyap. Namun ahli yang lainnya
percaya bahwa keluarga batih akan ambruk dan akan digantikan dengan pasangan
“bebas”, berganti-ganti tidak terikat anak, kawan dekat, dan tetangga
sebagaimana ditemukan pada masa-masa lalu. Sebaliknya, beberapa ahli keluarga
meramalkan bahwa dalam dekade yang akan datang, keluarga akan semakin
terstruktur dan tradisional. Oleh karena itu, keluarga batih akan tetap
bertahan karena belum pernah ada masyarakat kompleks yang dapat bertahan tanpa
batih. Dengan demikian, tidak ada keraguan mengenai apakah sebuah sebuah
keluarga akan bertahan. Namun arah perubahan keluarga yang tidak dapat diramal
secara pasti ke mana arahnya.
Meskipun demikian, dapat diinventarisir beberapa perubahan dari dulu sampai
sekarang, yang sekaligus menjadi tantangan keluarga pada masa akan datang.
Perubahan tersebut mencakup:
- Perubahan struktur keluarga;
- Perubahan fungsi keluarga;
- Perubahan nilai perceraian; dan
- Perubahan yang mempengaruhi tingkat perceraian dalam masyarakat.
Sejak lama (sekitar 1956) para pemimpin bangsa telah mengantipasi perubahan
zaman yang menjadi tantangan, ancaman bagi keluarga, dengan membentuk lembaga-lembaga yang bergerak di bidang penasehatan
keluarga. Lembaga-lembaga ini tersebar di Jawa Barat, Yogyakarta, Jakarta,
bahkan juga di kota-kota luar Jawa. Kemudian, guna mencapai daya-guna dan
daya-hasil, lembaga-lembaga penasehatan ini menyatu menjadi Badan Penasehatan
Perkawinan dan Penyelesaian Perceraian (BP4), yang sejak tahun 2002 berubah
nama menjadi Badan Penasehatan Pelestarian Perkawinan (BP4). BP4 ini sejak
pembentukannya sampai sekarang merupakan satu-satunya lembaga yang bergerak di
bidang penasehatan perkawinan di lingkungan Departemen Agama. Bahkan, barangkali BP4 merupakan sebuah lembaga yang bergerak di bidang
pembinaan keluarga terbesar di Indonesia ini. Secara nasional, terdapat sebuah
BP4 Pusat, hampir 33 BP4 provinsi, 400-an BP4 kabupaten/kota, ribuan BP4
kecamatan, dan sejak 2004 di beberapa desa/kelurahan dibentuk BP4
kelurahan/desa.
Pada masanya, peranan BP4 cukup besar dalam memelihara keutuhan keluarga.
Menurut data di Departemen Agama, angka perceraian antara 1950-an s/d 1970-an,
jumlah perceraian secara nasional mencapai separoh dari jumlah perkawinan yang
terjadi di masyarakat. Namun sejak tahun 1970-an, angka perceraian tersebut
terus menurun, dan dengan berlakunya UU No. 1 Tahun 1974 yang salah satu
asasnya mempersulit perceraian, jumlah perceraian semakin menurun. Sejak tahun
1990- an, angka perceraian terus bertahan sekitar 6 -7% dari angka perkawinan
di seluruh Indonesia.
UU No. 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan menganut asas mempersulit perceraian. Asas ini dijabarkan dalam Pasal 39 UU
yang mengatur tata cara perceraian tersebut, dan dijabarkan dalam dua
ketetapan. Pertama, perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang
pengadilan. Kedua, untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan, bahwa
antara suami isteri itu tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami-isteri.
Ketiga, diatur dalam peraturan perundangan sendiri. Ketentuan ini lebih lanjut dijabarkan
Pasal 14 s/d 36 PP No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan UU No. 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan.
Dari segi Tupoksi, penasehatan
pasangan-pasangan yang bermasalah (akan bercerai) ini adalah (utamanya yang
akan berperkara di Pengadilan Agama) menjadi tugas BP4 kabupaten/kota. Di
samping BP4 kecamatan yang bertugas memberi nasehat kepada pasangan-pasangan
yang akan menikah. Namun kini, di samping lembaga penasehatan BP4 tumbuh
beragam lembaga-lembaga konsultasi keluarga, seperti lembaga psikologi
keluarga, lembaga-lembaga konsultasi keluarga, lembaga perjuangan kesetaraan
jender, perlindungan perempuan dari kekerasan dalam rumah tangga, advokasi
hokum, dan lain-lain, yang bertugas mendampingi pasangan-pasangan bermasalah.
Dalam konteks Bangka Belitung,
secara garis besar dalam pelbagai wilayah sebenarnya peran BP4 belum
teraplikasi secara maksimal. Maksimalisasi peran BP4 baru terlaksana pada
sebagian kecil daerah, seperti di daerah Pangkal Pinang kota, secara spesifik
berada di KUA (Kantor Urusan Agama) Bukit Intan dan di Tanjung Pandan,
Belitung. Hal ini disebabkan karena akses masyarakat di sebagian besar kedua
tempat tersebut sudah sangat mudah sehinngga hubungan dengan pihak BP4 menjadi
berjalan dengan baik.
Maksimalisasi ini dalam arti,
seperti memberi penyuluhan selama sepuluh hari sebelum menikah dari pihak BP4
terhadap kedua calon mempelai yang akan menikah. Sebab secara teoretis, BP4
mempunyai kewajiban memberikan penyuluhan kepada setiap pasangan yang akan
menikah setidaknya sepuluh hari sebelum proses akad nikah dilakukan pada hari
pernikahannya. Setelah itu kedua pasangan tersebut layak mendapat Piagam
Penasehatan Pra Perkawinan yang dikeluarkan secara resmi oleh BP4.
Begitu pula pelbagai bentuk
penyuluhan setelah proses perkawinan yang dilakukan oleh BP4 terhadap
masyarakat luas di Bangka Belitung masih belum maksimal perannya. Sebagian
besar BP4 yang berada di berbagai daerah belum menunaikan tugas mereka secara
maksimal selain hanya dalam dua tempat tersebut, yaitu Bukit Intan, Pangkal
Pinang, Bangka dan Tanjung Pandan, Belitung. Pertanyaannya adalah bagaimana kedudukan
BP4 sebagai lembaga pembina keluarga di tengah globalisasi, kemajuan teknologi,
perubahan nilai serta pergeseran pola hubungan keluarga Indonesia, dan akhirnya
bagaimana cara meningkatkan peran BP4 di masa akan datang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar